Skip to main content

Author: Admin Staff

OJK Seharusnya Memaksa Bank Danamon Untuk Kooperatif Dan Peduli Kepada Nasabahnya

Belum adanya tindakan nyata, baik yang dilakukan Bank Danamon maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didalam menyikapi kasus hilangnya uang milik nasabah atas nama Eric Priyo Prasetyo sebesar Rp. 420 juta beberapa waktu lalu, jadi penilaian tersendiri dari seorang praktisi Ilmu Perbankan.

Ketika melihat permasalahan ini, Prawitra Thalib, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) sangat menyayangkan belum adanya tindakan nyata, baik dari Bank Danamon maupun OJK selaku wakil pemerintah, untuk segera menuntaskan kasus ini.

Sebagai akademisi dan juga ahli dibidang Ilmu Hukum Perbankan, ada beberapa hal yang sangat disayangkan Prawitra Thalib ketika melihat permasalahan bobolnya rekening seorang nasabah bank namun hingga saat ini masalah ini masih menemui jalan buntu.

Prawitra mengatakan, ketika seorang nasabah memutuskan untuk menyimpan dananya di sebuah bank, itu dengan berbagai pertimbangan. Dan pertimbangan itu diantaranya adalah menyangkut kepercayaan.

“Mengapa nasabah itu menyimpan dananya di bank? Tentunya nasabah itu percaya kepada bank bahwa bank itu tidak akan menyalahgunakan dana milik nasabah. Dan yang terpenting adalah dana yang disimpan oleh nasabah itu tidak akan hilang, “ ujar Prawitra.

Hal ini, lanjut Prawitra, sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Di dalam pasal 3 ini dijelaskan, bahwa sebuah bank menjalankan fungsi intermediasi.

“ Fungsi intermediasi adalah menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Ketika bank menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat, instrumen yang diperlukan adalah kepercayaan, yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dan kestabilan ekonomi. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, “ ungkap Prawitra.

Perlu diketahui juga, sambung Prawitra, bahwa setiap regulasi perbankan, setiap instrumen perbankan, setiap SOP perbankan, harus dibentuk berdasarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

“API ini adalah policy direction, arah kebijakan bank untuk menentukan regulasi bank. API sendiri ada 6 pilar dan salah satunya menyangkut perlindungan konsumen. Artinya, dalam regulasi bank, dalam kegiatan bank, dalam SOP bank, harus memperhatikan perlindungan konsumen, “ papar Prawitra.

Terhadap kasus yang menimpa Eric Priyo Prasetyo ini, Prawitra berpendapat, Bank Danamon sudah melakukan sebuah tindakan yang sangat tidak layak dilakukan sebuah institusi perbankan. Mengapa? Danamon tidak melakukan tindakan apapun untuk melindungi konsumennya. Jadi Bank Danamon sudah mengabaikan konsumennya.

“Konsumennya sudah percaya menyimpan uangnya disana dan uangnya itu tidak akan hilang namun tiba-tiba uang si nasabah ini hilang. Terus Bank Danamon cuci tangan, tidak mengambil tindakan apapun. Bahkan Bank Danamon sempat tidak memberikan informasi apapun kepada nasabah ini tentang kemana uang itu lari, “ kata Prawitra.

Dari sini Prawitra menilai, bahwa Bank Danamon sudah tidak melindungi nasabahnya. Terlepas dari persepsi apapun yang dikemukakan bank bersangkutan, namun Bank Danamon harus melakukan upaya nyata, upaya konkrit. Dan upaya konkrit itu adalah ada niat untuk membantu nasabah yang kehilangan uang tadi. Ini sama sekali tidak ada.

“ Bank Danamon harus menjelaskan ke nasabahnya bahwa ini bukan kesalahan bank, mungkin kesalahan oknum. Kita tidak menyalahkan institusinya. Bisa jadi ini adalah kesalahan oknum dalam institusi tadi sehingga merugikan nasabah bank. Sejauh ini, institusi bank Danamon tidak kooperatif, “ tukas Prawitra.

Untuk permasalahan ini, OJK sendiri seharusnya melakukan tindakan nyata karena kerugiannya yang diderita nasabah tidak sedikit. Seharusnya OJK selaku otoritas tertinggi yang mengawasi kegiatan institusi perbankan, OJK tanggap.

“OJK harusnya mengambil sikap dengan mengambil tindakan tegas karena OJK wakil pemerintah. OJK mempunyai kewenangan regulasi, supervisi dan pengawasan. Namun, dalam kasus ini, OJK tidak melakukan respon apapun, “ tutur Prawitra.

Walaupun dalam menyelesaikan kasus ini OJK masih membutuhkan bukti-bukti pendukung, pakar Ilmu Hukum Perbankan ini menambahkan, OJK seharusnya bisa memaksa kepada pihak bank yang bersangkutan supaya kooperatif. Namun, sejauh ini tindakan itu belum dilakukan OJK.

Mengenai sanksi yang bisa diterima Bank Danamon terkait kasus ini, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, khususnya jika dikaitkan ke pasal 49 ayat (2), Prawitra menyatakan, bank wajib melakukan langkah-langkah untuk memastikan ketaatan bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku supaya tidak merugikan nasabah.

Harus diingat pula, dalam menjalankan bisnisnya, sebuah bank itu adalah sebuah institusi yang mengandalkan kepercayaan. Bank punya manajemen resiko, manajemen reputasi. Kalau seandainya kita sudah melakukan upaya dan hasilnya tidak seperti yang kita harapkan dan tidak ada ganti rugi, maka hal itu dapat menurunkan reputasi sebuah bank. Jika reputasi bank turun maka kepercayaan masyarakat juga akan ikut turun. Dan jika kepercayaan masyarakat turun maka masyarakat tidak akan mau lagi menyimpan uangnya di bank itu. (pay)

  Sumber : https://surabayaupdate.com/prawitra-thalib-ojk-seharusnya-memaksa-bank-danamon-untuk-kooperatif-dan-peduli-kepada-nasabahnya/

Diksi #5: “Novel Baswedan Mencari Keadilan, Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa” (2)

Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #5: Novel Baswedan Mencari Keadilan “Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa” selain menghadirkan Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, dan Suparman Marzuki, juga menghadirkan Sri Wijayanti Eddyono (Dosen FH UGM), Maradona (Dosen FH Universitas Airlangga) dan Yuris Rezha (Peneliti PUKAT UGM).

Sri Wiyanti Eddyono mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang viktimologi dan hak asasi manusia. Sri Wiyanti memaparkan bahwa dari sudut pandang viktimologi, hak korban meliputi: hak perlindungan, hak reparasi dan hak yang paling sering diabaikan yaitu hak partisipasi. “Indonesia masih menganut keadilan retributive yang mengutamakan kepentingan publik, kepentingan pelaku, tetapi tidak bagi kepentingan korban,” ujarnya.

Hal tersebut yang menjadi akar permasalahan yang berujung pada tidak adanya kepastian hukum dan keadilan bagi korban. Menurutnya, kasus Novel Baswedan termasuk dalam kasus yang perlu memperhatikan hak-hak korban, termasuk hak untuk mendapatkan informasi serta hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perkaranya.

Materi selanjutnya disampaikan oleh Maradona. Ia memberikan catatan-catatan selama proses persidangan, termasuk tuntutan jaksa dalam kasus Novel Baswedan. Menurutnya, niat memang dalam beberapa literatur disamakan dengan kesengajaan, tetapi tidak identik karena niat masih ada dalam hati pelaku belum ditunaikan menjadi suatu kesengajaan. Dalam suatu proses hukum, hakim harus melihat berdasarkan fakta yang ada untuk menentukan pasal berapa yang dijatuhkan beserta vonis akhirnya. Dari putusan hakim nantinya baru dapat didiskusikan kembali bagaimana perspektif hakim dalam melihat kasus ini.

Catatan PUKAT

Narasumber terakhir, Yuris Rezha menjabarkan catatan-catatan dari PUKAT serta dampak kasus Novel Baswedan ini pada agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Beberapa catatan dari PUKAT yang berkaitan dengan tuntutan jaksa, yakni: menyatakan ketiadaan niat dari pelaku, pengenaan pasal penganiayaan biasa, tidak dipanggilnya saksi yang ditengarai menjadi kunci pengungkapan perkara, tuntutan satu tahun bagi pelaku yang menciderai rasa keadilan, serta tidak terungkapnya aktor intelektual dan motif pelaku. Yuris menyampaikan bahwa tuntutan jaksa terhadap pelaku merupakan lanjutan dari rentetan kejanggalan selama proses penegakan hukum dalam kasus ini. Selanjutnya, preseden yang buruk menjadi ancaman bagi warga negara khususnya pegiat antikorupsi, bisa jadi kejadian seperti ini dapat berulang. Transparansi, akuntabilitas dan pengendalian benturan kepentingan di institusi penegak hukum sangat dibutuhkan untuk menjamin pelindungan hukum bagi warga negara, menjaga etika serta mencegah perilaku korupstif penegak hukum.

Sumber: https://pukatkorupsi.ugm.ac.id/?p=4584

Tidak Mempersulit, Dinkes Hanya Menegakkan Aturan Soal SIP Dokter

Gonjang-ganjing soal surat izin praktik (SIP) dokter yang tidak diterbitkan Dinas Kesehatan (Dinkes) direspons Kadinkes Kota Surabaya Febria Rachmanita. Dia mengatakan, pihaknya tengah menegakkan ketentuan Permenkes 56/2014. Menurut dia, para dokter punya tafsir lain atas permenkes itu.

Feni, panggilan akrab Febria, mengatakan bahwa RS tipe C hanya boleh memiliki tenaga medis yang telah diatur pasal 44 ayat 2 permenkes tersebut. Yakni, dokter umum, dokter gigi umum, dokter spesialis dasar, dokter spesialis penunjang, dan dokter gigi spesialis. Adapun dokter spesialis dasar terdiri atas dokter spesialis kandungan, anak, bedah, dan penyakit dalam h

”Jika memiliki jenis dokter spesialis di luar yang disebut permenkes, RS harus membuat analisis beban kerja,” ujarnya kemarin (6/5).

Menurut Feni, kewajiban RS tidak hanya memenuhi sumber daya manusia (SDM). Tetapi juga harus memenuhi sarana dan prasarana, peralatan, serta persya­ra­tan izin operasional. Namun, dinkes menemukan RS yang hanya berusaha memperbanyak SDM tanpa melihat kewajiban lai­n­nya.

Seperti halnya salah satu RS tipe C di Surabaya yang memiliki tenaga medis berlebih. Dia tidak menyebut RS yang dimaksud. Di RS itu, dokter-dokternya me­lan­car­kan protes untuk mendapatkan SIP. Padahal, SIP belum bisa di­keluarkan karena masih ter­san­d­ung klasifikasi RS tersebut. ”RS tipe C seharusnya tidak ada dokter spesialis selain empat dasar. Jika masih ada, direktur RS harus me­nen­tu­kan untuk meningkatkan tipe menjadi B,” katanya.

Komitmen direktur RS untuk meningkatkan tipe harus dipegang dan tertulis dalam perjanjian. Feni memahami bahwa mengubah tipe RS membutuhkan proses yang tidak sebentar. ”Asalkan dia tetap berkomitmen. Jangan sampai RS sudah tipe B, tapi pelayanannya seperti tipe C. Dari 20 RS tipe C dan D, hanya satu yang belum berkomitmen,” ucapnya.

Feni menyatakan, pihaknya sudah waktunya mengatur distribusi dokter sesuai klasifikasi RS. Tenggat waktu permenkes itu dilangsungkan hanya dua tahun sejak dibuat. Langkah itu bertujuan untuk meratakan pendistribusian dokter di RS. Dia merasa terlalu banyak tenaga medis yang menumpuk di Surabaya. Dia memastikan bahwa dinkes sama sekali tidak bermaksud mempersulit dokter untuk mendapatkan SIP. ”Saya tidak mempersulit bila persyaratannya terpenuhi. Bila tidak, SIP belum bisa kami terbitkan,” paparnya.

Karena dinkes berpegang teguh pada Permenkes 56/2014, sejumlah dokter berkonsultasi hukum. Salah satunya ke advokat Nizar Fikri. Dia menerangkan bahwa dinkes tidak punya landasan yang pas untuk tidak menerbitkan SIP para dokter tersebut. ”Mana sih pasal-pasal yang mengatur dokter-dokter spesialis penyakit lain yang dilarang melayani di rumah sakit tipe C. Saya sudah baca semua dan enggak ada,” katanya.

Dalam permenkes tersebut, klasifikasi rumah sakit tipe C sudah diatur secara mendetail. Artinya, rumah sakit tipe C bisa memiliki tambahan dokter lain, selain yang menjadi persyaratan tersebut.

Mengapa Izin Praktik Dokter Tak Diterbitkan? Dinkes Kota Surabaya berpegang teguh pada Permenkes Nomor 56 Tahun 2014. Dalam aturan itu, rumah sakit tipe C paling sedikit memiliki: – 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medis dasar. – 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medis gigi mulut. – 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medis spesialis dasar. – 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medis spesialis penunjang. – 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medis spesialis gigi mulut.

Sejumlah rumah sakit memiliki dokter spesialis di lima poin persyaratan itu. Keberadaan dokter spesialis tersebut tidak diimbangi dengan pemenuhan sarpras. Kelebihan dokter di RS tipe C inilah yang sulit mendapatkan atau memperpanjang SIP.

Editor : Dhimas Ginanjar

Reporter : (ika/sal/c15/ayi)

Sumber : https://www.jawapos.com/jpg-today/07/05/2019/tidak-mempersulit-dinkes-hanya-menegakkan-aturansoal-sip-dokter/

Hormat pada Simbol Negara dan Cinta Tanah Air Tidak Dilarang Agama

Deputi Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengadakan diskusi kelompok terpimpin secara online dengan tema “Peningkatan Nasionalisme Terhadap Lambang Negara  Republik Indonesia di Kalangan Pelajar”, pada Selasa (15/7/2020). Diskusi ini dibuka oleh Wakil Kepala BPIP, Hariyono. Dalam sambutannya Hariyono mengatakan bahwa semenjak era reformasi terjadi pelanggaran terhadap Pancasila di dunia Pendidikan.
“Sejak era reformasi masih banyak  tindakan siswa dan pendidik yang melanggar Pancasila tetapi pimpinan tidak membukanya. Jika ini didiamkan bisa saja ini merembet  ke hal lainnya yang  lebih luas,” jelasnya seperti dikutip dari siaran pers. Selain itu, dijelaskannya bawah nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan khususnya cinta tanah air dan aspek kebangsaan. Dalam pendidikan juga dijelaskan bahwa dalam mengirim anak ke sekolah bukan semata-mata hanya untuk kecerdasan tetapi membangun karakter. “Nilai-nilai Pancasila harus diterapkan. Jika orang tua mengirim anaknya ke sekolah  bukan hanya untuk kecerdasaran saja tetapi juga pembangunan karakter bangsa seperti menghargai pada simbol negera,” jelas Hariyono. Staf Khusus BPIP Antonius Benny Susetyo menegaskan bahwa penghormatan terhadap bendera tidak dilarang agama. “Ini tidak ada kaitannya dengan iman, jadi negara harus tegas menegakkan aturan. Aturan sekolah perlu ditegakkan. Orang-orang semacam ini harus diberi pengertian pemahaman agama yang utuh. Juga, penghormatan terhadap nilai-nilai kebangsaan menjadi kewajiban setiap warga negara. Dalam Agama Kristen pun tidak ada larangan penghormatan kepada Bendera,” kata Romo Benny. Benny menjelaskan bahwa dalam Alkitab Perjanjian Baru dikisahkan bahwa Yesus menjawab pertanyaan perihal kewajiban membayar pajak. Yesus menyatakan, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. Kaisar di sini adalah negara”. Benny menegaskan bahwa Yesus menghormati tanah air. Dalam teologi kekristenan, muatan cinta tanah air memang ditanamkan. Romo Benny menekankan paling mendasar adalah setiap orang warga negara Indonesia harus menghormati simbol negara karena bagian dari cinta tanah air dan perintah yang harus dipatuhi di negara kita. Aturan juga sudah jelas. Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kota Malang, Ema Sumiarti menjelaskan bahwa disetiap sekolah terdapat tahapan atau seleksi dalam penerimaan siswa dan di dalam pembelajarannya diberikan pendidikan karakter. Selain itu, Ema menjelaskan bahwa dalam menangani siswa yang melarang aturan ini tidak langsung mengeluarkan siswa. Tetapi ada beberapa tahapan memanggil orangtua dan melakukan pembinaan. “Dalam penegakaannya ada beberapa progres penegakan dari teguran, menginfokan kepada orangtua untuk membina anaknya. Tidak semata mata mengeluarkan. Jika dilakukan pembinaan selama 1 semester tidak ada hasilnya maka dikembalikan kepada orang tua dan menyarankan untuk mencari sekolah lain yang seusai dengan anaknya,” jelas Ema. Ketua KPAI, Susanto menjelaskan bahwa dalam masalah siswa tidak mau hormat kepada simbol-simbol negara maka tidak semata-mata hanya memfokuskan kepada siswa tetapi lingkungan juga mempengaruhi hal tersebut. “Sebenarnya ini tidak hanya terjadi di satu wilayah saja tetapi juga di Indonesia bagian lainnya. Faktor yang memungkinakan hal ini terjadi adalah faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat seperti pengaruh dari tokoh masyarakat, teman sebaya, atau lingkunagn lainnya,” jelasnya. Susanto menambahkan bahwa, orang tua dan lingkungan harusnya membantu meluruskan perilaku yang tidak tepat tersebut. Jika hanya anak yang dikeluarkan sedangkan lingkunagn tidak dperhatikan maka akan memunculkan masalah baru lainnya. Ketua Seksi Media Literasi BNPT,  Eri Supriyanto melihat permasalahan ini dari segi paham radikalisme. Menurutnya mengubah ideologi tidak semudah mengubah hal lainnya. “Merubah ideologi tidaklah mudah, perlu waktu dan adanya proses multi pendekatan,” ujarnya. Plt. Deputi Hukum, Advokasi, dan Penanganan Regulasi BPIP, Ani Purwanti menekankan bahwa BPIP juga akan fokus pada peningkatan cinta tanah air dan lambang/simbol negara. “BPIP juga berfokus pada peningkatan cinta tanah air dan simbol negara diseluruh lapisan mayarakat,” pungkasnya. (Very)
Sumber: https://indonews.id/artikel/31071/Hormat-pada-Simbol-Negara-dan-Cinta-Tanah-Air-Tidak-Dilarang-Agama/

Perintis Bank Syariah Di Indonesia Menjadi Sebuah Relik, Mimpi Buruk Perbankan Syariah Indonesia

Semangat untuk menumbuh-kembangkan ekonomi syariah tidak terlepas dari pengaruh penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, semangat tersebut bermula dari keinginan untuk mengaplikasikan syariat Islam tidak hanya dibidnag ibadah dan keluarga saja, namun juga meningkat hingga pada tahapan kegiatan perekonomian dan bisnis. Untuk memfasilitasi semangat tersebut Bank Muamalat hadir sebagai Bank Syariah pertama di Indonesia, yang mulai beroperasi pada tahun 1992. Sejak kelahiranya pertumbuhan ekonomi syariah dapat dikatakan tumbuh dan berkembang dengan pesat, ini ditandai kegiatan ekonomi syariah tidak saja berfokus pada lembaga keuangan bank saja, namun juga merambah kepada sektor-sektor lain lembaga keuangan non bank, seperti asuransi, pegadaian pasar modal hingga pada level terendah yaitu lembaga keuangan mikro syariah (baitul maal wattamwil/BMT). Ibarat pepatah semakin tinggi pohon maka semakin tinggi pula angin yang menerpanya, tampaknya juga berlaku bagi Bank Muamalt, betapa tidak tingginya tingkat pembiayaan macet kotor (non-performing financing gross) Bank Muamalat yang pada 2014 lalu berada di level 6,55-7,11 % tetap meninggalkan luka yang belum pulih, mengingat pada akhir 2018 pembiayaan bermasalahnya masih mencapai angka diatas 3 %, yang tetap membawa pada posisi melebihi ambang batas rata-rata kredit macet perbankan, akan tetapi pada pertengahan Mei 2019 pada saat Rapat Umum Pemegan Saham Tahunan, Komisaris dan Direksi optimis kondisi keuangan perusahaan bisa dibenahi, namun demikian tampaknya optimisme tersebut belumlah membuahkan hasil, hal ini terbukti dari tindakan langsung yang diambil Presiden Joko Widodo dalam rangka menyelamatkan perintis Bank Syariah di Indonesia tersebut supaya tidak menjadi relik pusaka perbankan syariah di Indonesia. tindakan langsung yang diambil oleh Pemerintah Indonesia adalah langkah tepat sebagai upaya preventif untuk mencegah bank Muamalat menjadi bank gagal, mengingat bank gagal berpotensi menimbulkan dampak sistemik yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian nasional maupun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan, khususnya perbankan syariah. Walaupun masih dalam kondisi kritis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tidak bisa melakukan upaya penyelamatan, mengingat bank yang diserahkan kepada LPS harus dinyatakan gagal terlebih dahulu oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bank yang dinyatakan gagal oleh OJK adalah mimpi buruk bagi bank gagal tersebut maupun bagi insitusi perbankan nasional, oleh karenanya segala macam upaya preventif harus dikerahkan untuk mencegah terjadinya mimpi buruk tersebut. Bank muamalat yang berdiri pada 1 Novenber 1991 adalah bank umum pertama di Indonesia yang menerapkan prinsip syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah Indonesia, melalui dukungan dari Cendikiawan Muslim dan pengusaha muslim Indonesia. Kelahiran bank Muamalat telah menjadikan kegiatan ekonomi sebagai jalan lain syiar agama Islam yang mempunyai ciri khas rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta alam. Sekalipun berjuang di tengah dominasi bank konvensional, Bank Muamalat pada akhirnya terbukti dapat tetap bertahan dengan dukungan dari pemerintah dan Masyarakat luas. Hal ini ditandai dengan di Undangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Kedua Undang-Undang tersebut merupakan pencapaian tertinggi semangat ekonomi syariah di Indonesia, betapa tidak dukungan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam yang menghendaki kehidupan sebagai muslim yang kaffah atau sempurna, kehadiran Bank Muamalat ibarat pemuas dahaga bagi yang membutuhkannya. Namun sangat disayangkan pada tahun 2014 Bank Muamalat diterpa cobaan yang begitu hebat, yang hingga kini menimbulkan luka yang belum dapat disembuhkan. Upaya penyelamatan Bank Syariah tertua di Indonesia telah menjadi isu penting, betapa tidak Presiden Joko Widodo pada bulan Juli 2019 mengumpulkan Menteri dan Kepala Lembaga di Bidang Keuangan di Istana Bogor, Jawa Barat, terlepas hal tersebut ada atau tidak adanya campur tangan dari KH Ma’ruf Amin sebagai bagawan ekonomi syariah di Indonesia, upaya penyelamatan Bank Muamalat tersebut telah menggelontorkan beberapa ide dan solusi pun digelontorkan mulai dari penyertaan modal oleh investor yang konsorsiumnya di pimpin oleh Ilham Habibie, melakukan penagihan, melakukan tukar guling aset, hingga opsi menginvestasikan dana haji ke dalam Bank Muamalat. Dari beberapa hal tersebut timbul berbagai pertanyaan, apakah dukungan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia (khususnya yang beragama Islam) selama ini belumlah cukup?, atau ada masalah dalam hal manajemen dan pengelolaan institusi? Ada beragam jawaban dari pertanyaan tersebut, terlepas apapun kebenarannya dua pertanyaan tersebut harus menjadi parameter dalam upaya penyelamatan Bank Muamalat. Memang dalam kegiatan operasional perbankan potensi moral hazard yang tinggi tetap ada, namun demikian manajemen yang berintegritas akan menghilangkan hal tersebut, tidak hanya itu potensi dari pesaing bisnis pun juga tidak kalah hebatnya, disinilah letak keuletan dari suatu institusi perbankan ketika berkecimpung dalam dunia persilatan perbankan nasional, terlebih lagi Bank Muamalat harus bersaing dengan pionir-pionir Bank Konvensional Indonesia. Namun seharusnya hal tersebut seharusnya tidak mejadi kendala mengingat banyak bank-bank syariah lain, (sebagai contoh Islamic Bank of Britain yang kini menjadi Al Rayan Bank) yang tetap eksis sekalipun harus bertarung diantara dominasi bank-bank konvensional walaupun tanpa adanya dukungan dari mayoritas masyarakat dan pemerintah setempat. Semangat untuk menyelamatkan Bank Muamalat adalah semangat untuk menjaga kestabilan industri keuangan syariah Indonesia, betapa tidak apabila mahaguru bank syariah di Indonesia telah menjadi relik, bagaimana dengan nasib murid-muridnya?, tidak hanya itu saja kepercayaan masyarakat terhadap institusi keuangan syariah juga ditentukan melalui nama besar Bank Muamalat. Inilah yang menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk turut serta melakukan penyelamatan Bank Muamalat disamping alasan-alasan yang lain. Jangan sampai keruntuhan Bank Muamalat menjadi pemicu keruntuhan lembaga keuangan syariah di Indonesia, sebagaimana kelahiran Bank Muamalat menjadi pemantik lahir dan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Penulis : Dr. Prawitra Thalib

Elaborating Appropriate Models of the Sustainable Financing Instrument in Public Private Partnerships (PPP) In Infrastructure Projects

One alternative to accelerate infrastructure development in Indonesia is by involving the private sectors in the financing and development. In principle, Public Private Partnerships (PPP) can be classified into two, namely: a partnership project which idea came from the initiation of the government (solicited) and partnership project which idea came from the initiation of the business entities (unsolicited). To facilitate the implementation of the Public Private Partnership (PPP), the financing instruments that exist currently may be used to support the implementation of the Public Private Partnership (PPP). The importance of involving a third party other than investor and the government is related to the fulfillment of capital requirements and risks sharing in the event of loss. Although the rules clearly have been enacted, the infrastructure projects in Public Private Partnership (PPP) seem less attractive to investors. One of the causes is that the capital required by investors is too great with very high risk when investment in infrastructure is slow yielding. It is important to propose the scheme of sustainable financing which may allocate the PPPs’ risks proportionally.Until now, the government is too fixated with large cooperation projects with the private sectors, while the scheme offered is a Build-Operation-Transfer (BOT) scheme. This scheme is sometimes burden the investors, because the greatest risk is in the hands of investors. Regarding the financing of the Public Private Partnership (PPP), conventional financing such as a bank guarantee or sharia financing (‘kafalah’) can be carried out. Two such financing can be used in the Public Private Partnership (PPP), so it will increase the interest of investors to build infrastructure using Public Private Partnership (PPP). It is because such financing can overcome the difficulties of gaining large capital and also reduce the burden of risk borne by investors.

  Read More:  IPTEK Journal of Proceedings Series

Penguatan Model Regulasi Di Bidang Pembiayaan Penyediaan Infrastruktur Di Indonesia

Pembiayaan merupakan aspek terpenting yang mempengaruhi intensitas keterlibatan sektor swasta dalam proyek infrastruktur. Minimnya pembiayaan swasta dalam pembangunan infrastruktur, utamanya didasari faktor hukum, diantaranya perubahan kebijakan dan regulasi selama masa investasi yang diperparah dengan disharmonisasi regulasi terkait dengan prinsip prinsip hukum bisnis yang memberi kepastian berinvestasi, misalnya pemberian jaminan perbankan. Di sisi lain, jaminan pemerintah tidak dapat diberikan terhadap seluruh proyek infrastruktur, dan apabila terjadi dispute, tidak mudah dicairkan karena harus memperhatikan prinsip pengelolaan dan pengendalian risiko keuangan APBN. Sehingga konsep risk sharing sulit untuk terlaksana dan jelas menghalangi tujuan percepatan pembangunan infrastruktur. Tulisan ini mengelaborasi hambatan-hambatan hukum dalam proses penyediaan infrastruktur, termasuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan terkait dan kesesuaiannya dengan prinsip hukum bisnis, khususnya hukum kontrak yang menjadi syarat utama hubungan hukum para pihak. Penulisan menerapkan metode penelitian hukum melalui pendekatan perundangundangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan risiko hukum dalam proyek infrastruktur berupa risiko lokasi, risiko desain, konstruksi, dan uji operasi, risiko finansial dan risiko operasional, sedangkan regulasi terkait belum menyediakan sistem pengawasan yang baik sehingga belum menjamin keberlanjutan skema kerjasama pemerintah dan swasta serta belum menjamin alokasi risiko yang tidak menyimpang dari prinsip pengelolaan dan pengendalian risiko keuangan APBN. Sehingga diperlukan payung hukum yang koheren antar sektor terkait pembangunan infrastruktur.

  Read More : Simposium II UNIID 2017

Pendampingan untuk PT. SACI dalam hal penyediaan layanan dompet elektronik

Diberikan Legal Memo terkait bentuk-bentuk kerjasama yang dapat dilakukan PT. SACI dalam hal penyediaan layanan keuangan untuk mendukung ISCA dan ISCS. Tidak dimungkinkan bagi PT. SACI untuk melakukan kerjasama dengan Koperasi Simpan Pinjam Sahabat Mitra Sejati karena berdasarkan SEBI tentang Uang Elektronik, Lembaga Selain Bank yang dapat menjadi penerbit uang elektronik hanya badan hukum berbentuk PT.

Merujuk pada Undang-Undang Perbankan, PBI dan SEBI tentang Uang Elektronik, PT. Bank Sahabat Sampoerna dapat mengajukan permohonan untuk menjadi penerbit uang elektronik. Maka, bila PT. SACI bersedia menunggu hingga PT. Bank Sahabat Sampoerna memiliki produk uang elektroniknya sendiri, maka PT. SACI dapat bekerjasama langsung dengan PT. Bank Sahabat Sampoerna sebagai penerbit uang elektronik. Namun, dalam hal PT. SACI bekerjasama dengan PT. Bank Sahabat Sampoerna sebagai penerbit uang elektronik, bentuk kerjasama yang dimungkinkan menurut PBI dan SEBI tentang uang elektronik hanya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyedia jasa elektronik dan kerjasama dengan Agen Layanan Keuangan Digital. Kedua bentuk kerjasama ini kurang efektif untuk mendukung keseluruhan layanan ISCA dan ISCS karena ruang gerak PT. SACI akan terbatas sebagai perusahaan penyedia jasa elektronik atau Agen Layanan Keuangan Digital saja.

Bentuk kerjasama yang paling efektif bagi PT. SACI yaitu dengan menyediakan aplikasi yang akan secara khusus diperuntukan bagi end user layanan ISCA dan ISCS yang telah memiliki rekening dan saldo pada PT. Bank Sahabat Sampoerna (end user akan diwajibkan memiliki rekening dan saldo pada Bank Sampoerna). Transaksi melalui aplikasi yang dibuat oleh PT. SACI ini tidak akan diklasifkasikan sebagai transaksi uang elektronik karena seluruh transaksi yang akan dilakukan melalui aplikasi tersebut akan secara langsung mempengaruhi nilai saldo dalam rekening real end user pada PT. Bank Sahabat Sampoerna. Penggunaan aplikasi ini akan menyerupai penggunaan mobile banking atau internet banking, sehingga tidak diperlukan ijin uang elektronik terlebih dahulu dari Bank Indonesia.

KJD Advises Perkumpulan Golf Ahmad Yani on Joint Operation Contract of the Golf Course

Ahmad Yani Golf Course is the second oldest golf course in Indonesia which located in Surabaya. It was established by the Dutch in 1898. Ahmad Yani Golf Course was named after General Ahmad Yani, the commander of the Indonesian Army who always played golf in the golf course during his visit in Surabaya. General Ahmad Yani was then killed in 1965 during 30 September movement. On the site of the golf course there is a monument to commemorate the heroism of the Indonesian Students Militia in combating the Dutch after WW II. There is also the location of the tombstone of F. J. Rothenbuhler, a VOC employee who then became the landowner of East Java and member of the Committee for Javanese Affairs appointed by Thomas Stamford Raffles, Lieutenant-Governor of British Java. Therefore, Ahmad Yani Golf course is one of the Surabaya’s heritage in accordance to the Major of Surabaya Decree No. 188.45/24/436.1.2/2009.

The golf course since 1965 is managed under Perkumpulan Golf Ahmad Yani (PGAY). The management of PGAY needs to improve the quality and develop the facilities of the golf course, then in 2012 PGAY held a tender to determine an investor who will be the partner to improve and develop the golf facilities. PT Bhakti Tamara was selected as the investor who will be the partner of PGAY to operate the golf course.

KJD is appointed by PGAY and PT Bhakti Tamara to assist the process of joint operation contract for managing the golf course. KJD will assist and advise on the matter of: – Acquiring the legal entity status for PGAY, including preparing the articles of association; – Setting up joint operation contract, including the establishment of the Operating Unit; – Setting up bye-laws which regulates the internal relationship between the parties; – Employment contract, including the regulation of transfer of the PGAY employees to the Operating Unit; and – Membership of the golf course. The transaction is quite complex, since in 2009 and 2013 PGAY tried to transfer the land possession to the Surabaya Municipal, in which now will be cleared in accordance to the prevailing laws.

[Best_Wordpress_Gallery id=”10″ gal_title=”news”]  

Indonesian Small Claim Regulation in Civil Procedure

After along waiting, Indonesia finally has small claim regulation in its civil procedure. The Supreme Court enacted Supreme Court Regulation Number 2 of 2015 on Procedure for the Settlement of Small Claim, on August 2015. The regulation has aims to guarantee access to justice simple, fast and low cost to anyone who seeks for justice, at the same time it may reduce the burden of cases which culminate at Supreme Court for cassation appeal. Small claim procedure prevails for the Ordinary Courts (District Court/ Pengadilan Negeri) only for civil cases meet certain requirements.

According to the Regulation, any civil case arises from breach of contract or unlawful act which the value is less than or equals to IDR 200,000,000.00 (USD 14,800) should be submitted and tried according to the small claim procedure. However, civil cases which should be tried in special court, such as bankruptcy petitions and intellectual property rights disputes which fall into Commercial Court’s jurisdiction, cannot be submitted and tried under small claim procedure. Moreover, civil case arises from land rights dispute also cannot be submitted and tried under small claim procedure. The Regulation also requires that the case should be simple, it should consists of one plaintiff and one defendent whose domicile falling into similar jurisdiction of the competent District Court. The case may consist of more than one defendant as long as they have strong related interests on the case.

The case will be tried by single judge appointed by Chief Judge of the District Court. The Judge will held a preliminary test to decide whether the case should be tried under small claim procedure or not. Once the decision assigns that the case should be tried under small claim procedure, the disputed parties will be summoned to attend for the first hearing. At the first hearing the Judge may suggest the parties to reach an amicably settlement; however if the parties cannot settle the dispute amicably, the proceeding will be continued with the deliverance of statement of claim and statement of defence. It is not allowed in small claim procedure request for provisional measure, replication, rejoinder, counter claim and third party intervention. The law of evidence for civil litigation shall govern the evidentiary procedure in small claim. The Judge shall render its final judgment in 25 days from the day of first hearing.

The party is not allowed to submit an appeal to the High Court. Any challenge against final judgment of small claim procedure shall be submitted into respected District Court which rendered the judgment. The challenge shall be submitted in seven days after notification of judgment to the party who submit such challenge. The other party shall be well informed that there is a challenge against the judgment, and he/ she has right to submit a counter memory. The Chief Judge of District Court will appoint a panel consists of three Judges to relitigate the case. The trial will only rely on the examination of the documents, there is no hearing and evidentiary procedure in the proceeding. The judgment shall be rendered its judgment in seven days after the appointment of the panel. Any further challenge, in kinds of appeal, cassation and revocation, is not allowed. The enforcement of final judgment, which reach res judicata effect, should be exercised according to the law of civil procedure.