Skip to main content

Author: Admin Staff

Gandeng KJD LAW FIRM, UITM Siap Kembangkan International Professional Partnership Program

Humas (19/10/2) | KJD Law Firm resmi menjalin kerjasama dengan Universiti Teknologi Mara (UiTM) Malaysia yang secara khusus akan dioperasionalkan oleh Fakultas Hukum UiTM, pada Senin (17/10) lalu. Penandatanganan kerjasama Memorandum of Understanding (MoU) ini diwakili oleh Assoc. Prof. Dr. Hartini Saripan selaku Dekan dari Fakultas Hukum UiTM dengan Dr. Maradona, S.H., LL.M. selaku Vice Managing Partner on Cooperation KJD Law Firm. Bertempat pada ruang serbaguna Fakultas Hukum UiTM di Shah Alam, Selangor, Malaysia, penandatanganan ini didatangi oleh Dekanat Fakultas Hukum UiTM beserta beberapa perwakilan KJD Law Firm

Adanya MoU ini diharapkan dapat memperkuat, memajukan dan mengembangkan kerjasama akademik, budaya dan penelitian antara KJD Law Firm dengan Fakultas Hukum UiTM dengan bingkai regulasi dan kebijakan masing-masing negara. Kerjasama antara KJD Law Firm dengan Fakultas Hukum UiTM sendiri dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni: (1) Magang yang akan diberikan oleh KJD Law Firm kepada mahasiswa UiTM; (2) Bimbingan karir yang akan diberikan oleh KJD Law Firm kepada mahasiswa UiTM; (3) Kuliah tamu yang akan diberikan oleh KJD Law Firm kepada mahasiswa UiTM pada berbagai mata pelajaran dan (4) Kerjasama di bidang lain. Untuk kedepannya, kerjasama antara kedua pihak ini akan diwakilkan dengan koordinator dari pihak administrasi sebagai penghubung serta penanggung jawab menjaga kesinambungan kerjasama ini.

KJD Law Firm merupakan firma hukum independen yang memberikan jasa hukum di bidang hukum bisnis, hukum perusahaan dan litigasi di wilayah hukum Republik Indonesia, berdiri sejak tahun 2013 oleh tiga sekawan yakni Faizal Kurniawan, Sujayadi, dan Maradona.

UiTM Malaysia adalah Universitas mapan dengan rekam jejak keunggulan dalam pendidikan dan penelitian dengan program pengaturan kolaboratif yang dinamis dengan banyak mitra internasional.

Ahli Hukum Unair Soroti Legalisasi Ganja untuk Medis

Isu legalisasi ganja untuk medis menjadi pembahasan hangat akhir-akhir ini. Sampai-sampai Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin ikut memberi saran kepada MUI agar mengeluarkan fatwa mengenai penggunaan ganja medis.
Ahli Hukum Islam Unair, Dr. Prawitra Thalib ikut menyoroti hal ini dari sudut pandang hukum Islam. Menurut Prawitra, ada lima sebab diturunkannya suatu syariat dalam Islam. Suatu hukum Islam ada untuk memelihara lima aspek yang disebut maqashid syariah tersebut. “Pemeliharaan agama, pemeliharaan nyawa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan, dan pemeliharaan harta,” ucap dia melansir laman Unair, Senin (4/7/2022). Apabila ditujukan untuk memelihara nyawa, Prawitra berpendapat bahwa penggunaan ganja diperbolehkan. Di sisi lain, demi memelihara akal, penggunaan ganja untuk tujuan rekreasional diharamkan. “Fatwa ganja medis ini baik. Untuk menegaskan batasan penggunaan ganja (hanya) untuk kepentingan memelihara nyawa,” ucap Dosen Fakultas Hukum Unair ini.
Fatwa legalisasi ganja juga seharusnya mampu mengakomodasi jangan sampai ada penyalahgunaan. Fatwa itu, sebut dia, juga berfungsi untuk mencegah adanya salah tafsir bahwa ganja dihalalkan sepenuhnya. “Kalau sehat walafiat pakai ganja tetap tidak boleh,” ungkap dia. Prawitra juga berpendapat, MUI harus mempertimbangkan aspek urgensi ganja medis jika ingin mengeluarkan fatwa mengenai legalitasnya. “Yang dikedepankan itu hisbunnafs, pemeliharaan nyawa. Jika (ganja) tidak dipakai maka nyawa terancam, itu bisa (dibenarkan),” tutur Prawitra. Dia mengaku, penggunaan ganja harus ditujukan untuk pemeliharaan nyawa tanpa membahayakan pemeliharaan akal. Akan tetapi, Prawitra juga menjelaskan bahwa fatwa MUI bersikap tidak mengikat. Ia berfungsi sama seperti pendapat hukum (legal opinion) yang dikeluarkan oleh seorang ahli hukum.
“Pada prinsipnya pendapat hukum itu tidak mengikat,” terang dia. Untuk memiliki kekuatan hukum yang mengikat, legalisasi ganja medis harus ditetapkan dalam undang-undang (UU). Sebelumnya, isu ini harus menjadi pembahasan dalam program legislasi nasional terlebih dahulu. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia harus mampu melakukan law enforcement terhadap undang-undang tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah apakah Indonesia mampu mencegah penyalahgunaan ganja apabila nanti dilegalkan dalam undang-undang. “Saya takutnya kalau tidak dikontrol dengan baik, ganja yang awal mulanya untuk keperluan medis disalahgunakan untuk kepentingan hepi-hepi,” jelas Prawitra khawatir. Prawitra juga mengimbau agar law enforcement dijalankan dengan baik. Kalau instrumen penegakan hukum di Indonesia belum kuat dan law enforcement-nya belum maksimal, dia yakin upaya legalisasi ganja medis sia-sia.
“Pertimbangkan Indonesia ready atau tidak. Jangan sampai niatnya maslahat tapi hasilnya mudharat. Utamakan kemaslahatan untuk menghilangkan kemudharatan. Insya Allah berkah,” tukas dia.

Sumber: https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/04/204115771/ahli-hukum-unair-soroti-legalisasi-ganja-untuk-medis?page=all#page2

Penyelewengan Dana oleh ACT, Ini Tanggapan Pakar Unair

Dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia menghebohkan masyarakat. Hal itu tak lain karena fungsi dan tujuan ACT adalah bergerak di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Berkaitan dengan hal itu, Dosen Fakultas Hukum Prodi Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair), Dr. Prawitra Thalib memberikan tanggapan.
Menurut dia, dugaan penyelewengan dana itu telah diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 juncto UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, UU No. 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, dan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan
Sebagaimana diketahui ACT berbadan hukum yayasan, maka ACT harus tunduk pada UU No. 16 Tahun 2001 juncto UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan berdasarkan pada prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat.
“Sehingga, karena ACT telah berbadan hukum, yayasan ini dilarang mengambil keuntungan dari yayasan atau kegiatan usaha yayasan, baik oleh pendiri maupun pengurusnya,” ucap dia melansir laman Unair, Kamis (7/7/2022).
Selain itu, Prawitra juga menegaskan lebih lanjut tentang ketentuan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
Dalam PP itu dijelaskan bahwa pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya adalah 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.
“Yang artinya operasional dari pengumpulan dana sosial tersebut hanya bisa diambil sebanyak-banyaknya 10 persen dari total pengumpulan sumbangan,” jelas dia.
Dalam melihat kejelasan dugaan penyelewengan dana masyarakat ini, Prawitra menjelaskan perlunya melihat kembali anggaran dasar dari ACT yang mengatur tentang gaji dan sarana pengurus berupa keputusan dewan pembina.
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada ruang tikungan penyelewengan regulasi yang terdapat dalam anggaran dasar. “Karena motivasi perbuatan pelaku akan terlihat dari pintu regulasi anggaran dasarnya. Ini jadi ruang untuk menyisir pertanggungjawaban pidana organ yayasan ini. Termasuk apakah ada perbuatan berlanjut pidana lain berupa tindak pidana penggelapan atau tindak pidana pemalsuan,” tegas dia.
Bisa kena sanksi pidana bila ACT ambil keuntungan
Dia menegaskan, bila benar pengurus ACT mengambil keuntungan digaji, maka bisa dikenakan sanksi pidana terhadap perbuatan pelaku yang menerima pembagian atau peralihan dari kekayaan yayasan. Itu sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (1) dan (2) UU No. 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
“Isinya itu menegaskan, setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun,” tutur Prawitra.
Selain sanksi pidana penjara, pengurus ACT yang terbukti bersalah juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Prawitra menyarankan kepada pemerintah khususnya Kementerian Sosial (Kemensos) untuk bisa menyiapkan aturan yang jelas bagi lembaga-lembaga filantropi seperti ACT yang menghimpun dana masyarakat.
“Harus ada aturan yang jelas terkait hak dan kewajiban lembaga-lembaga tersebut. Mengingat, ada kalanya penyaluran bantuan dan kegiatannya juga membutuhkan biaya operasional per bulan,” terang dia.
“Memang di aturan lama ada ketentuan 10 persen donasi dapat diambil oleh pengelola donasi dan 12,5 persen dapat diambil lembaga amil zakat, karena itu adalah haknya. Namun, untuk donasi sosial hal tersebut harus dikaji kembali apakah masih relevan atau tidak, atau disamakan 12,5 persen,” tambah dia.

sumber: https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/07/175717271/penyelewengan-dana-oleh-act-ini-tanggapan-pakar-unair?page=all

Pencatatan Perkawinan Beda Agama Sudah Diatur Undang-Undan

Akta perkawinan mereka diterbitkan pada 9 juni lalu. Kadispendukcapil Surabaya Agus Imam Sonhaji menyampaikan bahwa dokumen itu diterbitkan setelah keluar putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Langkah tersebut didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. “Sebagai Elemen pemerintah, kami bertindak berdasar Undang-undang.” Kata Agus kemarin (22/6)

sumber: https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2022/pakar-hukum-pencatatan-perkawinan-beda-agama-sudah-diatur-undang-undang/

Bolehkah Memasukkan Klausul Kompensasi dalam Perjanjian Perkawinan?

Pertanyaan

Bisakah menaruh klausul kompensasi dalam perjanjian pernikahan, apabila salah satu pihak terbukti ada pihak ketiga dalam perkawinan atau melakukan KDRT?

Intisari Jawaban

Pada dasarnya, di dalam KUH Perdata, substansi perjanjian perkawinan berkaitan dengan pengaturan harta benda. Namun demikian, di dalam UU Perkawinan secara implisit tidak membatasi pada pengaturan harta benda saja, selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Lantas, bolehkah memasukkan klausul kompensasi karena KDRT atau perzinahan ke dalam perjanjian perkawinan?

Ulasan Lengkap

Hal yang Diatur dalam Perjanjian Perkawinan

Sebelumnya, kami luruskan bahwa secara normatif, terminologi yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) adalah perjanjian perkawinan, bukan perjanjian pernikahan seperti yang Anda sebut. 

Perjanjian perkawinan diatur dalam Bab V UU Perkawinan dan ditempatkan hanya dalam satu pasal yaitu Pasal 29 UU Perkawinan yang menyatakan:

  • pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut;
  • perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan;
  • perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;
  • selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Namun, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, dari sisi waktu pembuatan perjanjian perkawinan tidak lagi hanya bisa dibuat pada saat atau sebelum perkawinan (prenuptial agreement), namun dapat dibuat juga selama dalam ikatan perkawinan (postnuptial agreement) (hal.156 ).

Secara substansi, Pasal 29 UU Perkawinan tidak mengatur secara tegas bahwa perjanjian perkawinan hanya terbatas pada harta perkawinan. Sehingga, secara implisit dapat ditafsirkan perjanjian perkawinan tersebut tidak terbatas hanya mengatur mengenai harta perkawinan saja.

Baca: Perjanjian Perkawinan dan Hal yang Diatur di Dalamnya

Namun demikian, esensi perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan lebih luas dibandingkan dengan perjanjian perkawinan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Dalam penjelasan Pasal 29 UU Perkawinan diterangkan bahwa perjanjian perkawinan ini tidak termasuk taklik-talak. Batasan terhadap isi perjanjian perkawinan hanya disebutkan bahwa isinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, agama dan kesusilaan.

Bolehkah Memasukkan Klausul Kompensasi dalam Perjanjian Perkawinan?

Meskipun tidak ada batasan terkait isi perjanjian perkawinan, tetapi suami istri dalam membuat perjanjian perkawinan patut memperhatikan norma agama, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Hal-hal tersebut juga mengikat pihak-pihak yang membuatnya, termasuk peraturan perundang-undangan mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“KDRT”).

Secara normatif, larangan KDRT sudah diatur dalam UU 23/2004 yang memuat sanksi pidana pelaku KDRT. Sama halnya dengan perselingkuhan atau perzinahan bagi pasangan yang telah menikah, secara normatif sudah diatur di dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Oleh karena itu, menurut hemat kami, tidaklah tepat apabila substansi perjanjian perkawinan memuat kompensasi ketika salah satu pihak melakukan perzinahan atau KDRT.

Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa pihak ketiga yang terikat oleh perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri hanya sebatas mengenai harta benda. Hal-hal lain di luar pengaturan mengenai harta benda perkawinan, pihak ketiga tidak terikat terhadap segala akibat yang ditimbulkannya.[1]

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

[1] Pasal 152 – 153 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)

Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/a/bolehkah-memasukkan-klausul-kompensasi-dalam-perjanjian-perkawinan-lt62862fbae859f

Luas Rumah KPR Berbeda dengan di IMB, Ini Konsekuensinya

Pertanyaan

Saya akan membeli rumah KPR subsidi. Menurut info developer, ukuran rumah adalah 42 m2, sedangkan yang tertera di IMB adalah 36 m2. Alasan mereka memanipulasi agar bisa disertakan ke dalam KPR subsidi. Sampai di sini menurut saya sudah terjadi ketidaksesuaian antar bangunan asli dengan IMB. Bagaimanakah aturan hukumnya? Dan apakah hal ini akan menjadi masalah di kemudian hari apabila saya tetap membeli rumah tersebut?

Intisari Jawaban

Perlu kami luruskan bahwa izin mendirikan bangunan (“IMB”) dalam UU Cipta Kerja sudah tidak berlaku dan diganti dengan perizinan bangunan gedung (“PBG”). Akan tetapi jika memang IMB sudah terbit, maka IMB tetap berlaku. Adapun, jika terdapat ketidaksesuaian luas bangunan rumah antara fakta di lapangan dengan data yang termuat di IMB, pihak developer dan juga pembeli dapat dikenai sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ulasan Lengkap

Syarat Luas Bangunan Rumah KPR Bersubsidi

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa objek sengketa yaitu rumah KPR bersubsidi ini sudah dibangun sebelum berlakunya Permen PUPR 35/2021 yang menghapus KPR bersubsidi. Dengan demikian, berdasarkan atas asas non retroaktif, peraturan yang akan kami bahas untuk menjawab pertanyaan Anda adalah Permen PUPR 20/PRT/M/2019.

KPR bersubsidi menurut Pasal 1 angka 2 Permen PUPR 20/PRT/M/2019 berbunyi:

Kredit/Pembiayaan pemilikan rumah bersubsidi yang selanjutnya disebut KPR bersubsidi adalah kredit/pembiayaan pemilikan rumah yang mendapat bantuan dan/atau kemudahan pemilikan rumah dari pemerintah berupa dana murah jangka panjang dan/atau subsidi pemilikan rumah yang diterbitkan oleh bank pelaksana baik secara konvensional maupun dengan prinsip syariah.

Adapun syarat-syarat KPR bersubsidi tentang luas tanah maupun bangunan diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 19 Permen PUPR 20/PRT/M/2019 yang berbunyi :

Pasal 18

(1) Kepemilikan Rumah Umum Tapak dan Sarusun Umum yang diperoleh melalui KPR Bersubsidi harus memenuhi persyaratan pengaturan mengenai luas tanah, luas lantai, harga jual Rumah Umum Tapak atau Sarusun Umum, lokasi Rumah Umum Tapak atau Sarusun Umum, bangunan rumah, prasarana, sarana, dan utilitas umum.

(2) Dalam hal terdapat kelebihan luas tanah dan peningkatan mutu bangunan, harga jual tidak melebihi batasan harga yang telah ditetapkan.

(3) Harga jual rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harga jual rumah sesuai dengan akta jual beli atau perjanjian pendahuluan/pengikatan jual beli.

(4) Harga jual Rumah Umum Tapak atau Sarusun Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pajak pertambahan nilai.

(5) Ketentuan harga jual Rumah Umum Tapak dan Sarusun Umum yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai sesuai dengan ketentuan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Pasal 19

Batasan luas tanah, luas lantai, dan harga jual Rumah Umum Tapak dan Sarusun Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Sedangkan untuk aturan tentang luas tanah dan bangunan diatur lebih rinci pada Lampiran huruf C Kepmen PUPR 995/Kpts/M/2021:

Berdasarkan pertanyaan yang Anda sampaikan, kami asumsikan bahwa Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”) rumah KPR tersebut sudah terbit.

Namun demikian, perlu Anda ketahui bahwa sejak UU Cipta Kerja diundangkan pada, ketentuan IMB telah dihapus dan diganti dengan Persetujuan Bangunan Gedung (“PBG”). Namun, berdasarkan Pasal 346 PP 16/2021 sebagai aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja, jika IMB sudah terbit maka IMB tersebut tetap berlaku. Sehingga, apabila dalam kasus ini kita asumsikan IMB sudah terbit, maka IMB tersebut tetap berlaku sebagaimana mestinya yang diatur dalam UU Bangunan Gedung.

Adapun, berdasarkan definisi bangunan gedung dalam Pasal 24 angka 1 UU Cipta Kerja yang dimaksud adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

Berdasarkan pertanyaan Anda, rumah KPR bersubsidi termasuk kategori bangunan gedung yakni dalam bentuk hunian atau tempat tinggal sehingga wajib memenuhi syarat pembangunan bangunan gedung yaitu harus memenuhi standar teknis bangunan gedung.[1]

Konsekuensi Jika Luas Rumah KPR Bersubsidi Berbeda dengan IMB

Perlu Anda ketahui, konsekuensi yang timbul jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka akan dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Ketentuan mengenai sanksi administratif dalam UU Bangunan Gedung telah diperbaharui oleh UU Cipta Kerja.

Sanksi Administratif

Setiap penyedia jasa konstruksi yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung akan dikenai sanksi administratif.[2]

Sanksi yang dikenakan dalam Pasal 24 angka 42 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 45 ayat (1) UU Bangunan Gedung adalah sebagai berikut:

  1. Peringatan tertulis;
  2. Pembatasan kegiatan pembangunan;
  3. Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
  4. Penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;
  5. Pembekuan persetujuan bangunan gedung;
  6. Pencabutan persetujuan bangunan gedung;
  7. Pembekuan SLF bangunan gedung;
  8. Pencabutan SLF fungsi bangunan gedung; atau
  9. Perintah pembongkaran bangunan gedung.

Kemudian berdasarkan Lampiran E Permen PUPR 20/PRT/M/2019 memuat mengenai lampiran Surat Pernyataan Pemohon KPR Bersubsidi. Salah satu klausanya menyatakan bahwa semua dokumen persyaratan untuk memperoleh subsidi (dalam kasus ini kita asumsikan termasuk IMB) harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, jika nantinya ditemukan ketidaksesuaian maka pemohon KPR bersubsidi harus bersedia mengembalikan seluruh subsidi dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sanksi Pidana

Dengan demikian dalam hal kasus ini baik developer dan/atau pembeli berpotensi dapat dikenai sanksi, bahkan sanksi pidana. Pihak developer berpotensi dapat dikenakan ketentuan pidana dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuai kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Dalam hal ini, apabila developer memiliki niat dengan rangkaian kebohongan, memanipulasi data terkait luasan rumah yang diperjualbelikannya, baik dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri (agar unit rumah cepat laku) atau orang lain, dalam hal ini pembeli, agar memperoleh kredit KPR bersubsidi segera cair yang mana jika berdasarkan ketentuan yang ada, kredit itu berpotensi tidak dapat diberikan karena tidak memenuhi persyaratan  yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal demikian, maka developer dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan dalam Pasal 378 KUHP.

Lebih jauh lagi dalam hal apabila pengajuan kredit berupa KPR bersubsidi itu nantinya secara administrasi dituangkan dalam suatu akta otentik, antara lain akta perjanjian kredit secara notariil, maka terhadap pihak developer berpotensi dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP, sedangkan dalam hal pembeli mengetahuinya dan menyetujui tindakan developer, dapat dikenai ketentuan mengenai penyertaan dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP.

Satu hal yang perlu dipahami oleh pembeli, pada saat pengajuan KPR bersubsidi, sebelum pengajuan disetujui oleh pihak bank pemberi kredit, tentunya akan diawali dengan proses administrasi dan survei lapangan, dimana dalam hal apabila ditemukan adanya perbedaan luasan hasil pengukuran dari tim survei/ tim teknis yang ditunjuk oleh pihak bank pemberi kredit dengan luasan yang tercantum dalam IMB, maka ada kemungkinan pengajuan KPR bersubsidi akan ditolak, sehingga pembeli berpotensi dirugikan akibat hal ini.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
  3. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002;
  5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 20/PRT/M/2019 Tentang Kemudahan Dan Bantuan Pemilikan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 35 Tahun 2021 tentang Kemudahan dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah;
  6. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 995 /Kpts/M/2021 Tentang Batasan Penghasilan Tertentu, Suku Bunga/Marjin Pembiayaan Bersubsidi, Masa Subsidi, Jangka Waktu Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah, Batasan Luas Tanah, Batasan Luas Lantai, Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak Dan Satuan Rumah Susun Umum, Dan Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka

[1] Pasal 24 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”)

[2] Pasal 24 angka 41 UU Cipta Kerja

A Post-Colonial Comparative Critical Legal Study of the Open Norm of Reasonableness and Fairness (or Good Faith) in Dutch and Indonesian Corporate Law

Both Dutch and Indonesian corporate law contain ‘open norms’. This means that there is room for interpretation of the content and purpose of these standards. The best-known Dutch open norm is that of ‘reasonableness and fairness’ — a standard also known in Indonesia as ‘reasonableness and fairness’ and as ‘good faith’. This contribution offers a perspective on the anthropo-legal background that is so important to the interpretation of open norms both in Dutch and in Indonesian corporate law. The comparison of good faith and reasonableness and fairness standards in the corporate laws of both countries is interesting because of their colonial and, therefore, legal ‘transplant’ relationship. The countries differ significantly in terms of cultural, economic, political, and religious dimensions, which influences the way in which open norms are interpreted. Interestingly, a centralistic legal system is applied in the Netherlands, as opposed to a pluralistic legal system in Indonesia. This fundamental distinction leads to differences in the interpretation of open norms in the corporate law of both countries. The findings show that although corporate law as well as the open norms contained therein are rooted in Dutch and Indonesian civil law, corporate law has undergone a development that is partly independent therefrom. At the same time, the manner in which corporate open norms are interpreted in the Dutch and Indonesian legal systems is remarkably similar.

Source: https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3848736

Pembatasan Hak Dasar Pendidikan dan Hak Dasar Beragama dalam Proses Belajar Mengajar (PBM)

Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pastinya diharapkan mencapai tujuan pendidikan seutuhnya yakni mencerdaskan kehidupan bangsa yang dapat meningkatkan, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air. Ada kalanya bahwa Proses Belajar Mengajar (PBM) diwarnai dengan dinamika problematika yang salah satunya adalah berkaitan dengan keyakinan beragama. Hak untuk menganut, memeluk dan menerapkan keyakinan suatu agama dan/atau kepercayaan merupakan hak dasar manusia. Hak dasar menempuh pendidikan yang tentunya berkorelasi erat dengan hak dasar mempunyai keyakinan tertentu sangatlah unggul dan fundamental. Namun, jikalau menerapkan suatu keyakinan tersebut ternyata membawa dampak bagi proses PBM di instansi pendidikan, apakah instansi pendidikan dapat memberikan sanksi berupa skorsing mutasi/pindah ke instansi pendidikan yang lain?. Dalam hal ini adalah keyakinan untuk tidak hormat kepada bendera saat upacara di sekolah berlangsung.  

Fungsi pendidikan nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003) yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Di satu sisi bahwa berdasarkan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (UU No. 12/2005) diatur bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. Antara hak dan kewajiban terlebih lagi kebebasan haruslah berjalan seiring seirama. Kebebasan tersebut tentunya tidak dapat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat mandatory sampai dengan tata tertib sekolah.

Antara hak dasar untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan peraturan yang berlaku, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Apabila hak dasar dibawah ke ranah publik, maka dibebani kewajiban untuk mengikuti aturan yang berlaku, yakni peraturan dalam bidang pendidikan, bendera dan lambang negara, pedoman upacara sampai dengan tata tertib sekolah. Sehingga ketika seseorang, terlebih lagi peserta didik berada di ranah publik, dia juga berkewajiban untuk mengikuti aturan yang berlaku.-fk-